Bisa Sabar dalam Shalat, Sabar Pula dalam Kehidupan Sehari-hari
(Maulana al-Habib M. Luthfi bin Yahya).
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ ۚ
Kita mengambil makna yang paling bawah (dasar) dulu, mengingat kalimat ayat tersebut berhubungan dengan dunia tasawuf. Pendidikan tasawuf pertama kali adalah berdasarkan wasta'inu bishshabri washshalah. Orang-orang yang ma'rifat atau kaum 'arifin ketika mendengar panggilan adzan atau perintah shalat, hati para beliau tergugah dan senang. Ingin segera memenuhi panggilan shalat. Menganggap panggilan itu adalah kehormatan, bukan beban. Bagaimana dengan kita ketika adzan berkumandang?
Sebagai gambaran, tanpa bermaksud menyamakan Allah dengan makhluq -na'udzubillah min dzalik, hanya untuk memudahkan pemahaman. Ketika santri dipanggil kiai, hati itu ingin matur ini-itu, ada hajat ini-itu, macam-macam. Senangnya juga bukan main. Padahal ketika sudah berhadapan, cuma bisa diam. Tak bisa ngomong apa-apa. Yang ada cuma rasa senang luar biasa dipanggil kiai. Sementara teman-teman di kamar sudah menunggu untuk menanyainya, dapat perintah apa dari kiai? Dapat dawuh apa? Macam-macam pertanyaan.
Lha para 'arifin seperti itu (keadaannya) ketika menerima panggilan shalat. Beliau-beliau menanti. Bahkan inginnya shalat itu tidak cuma 4 rakaat. Tapi kalau kita orang awam ini, mendengar adzan kaget, koq cepat ya sudah Ashar. Masih sibuk dengan urusannya. Tidak segera shalat.
Di sinilah peranan wasta'inu bishshabri washshalah, bisa melawan tantangan nafsu atau malah ikut nafsu. Perlu diingat bahwa menunda-nunda waktu shalat itu sama dengan mengabaikan pertolongan yang ditawarkan oleh Allah. Maka hati perlu ditata dulu agar bisa menerima secara sukarela atau senang dengan perintah shalat atau datangnya waktu shalat. Sehingga ketika waktu salat datang itu ibarat pedagang yang dapat keuntungan karena pembeli yang membeli dagangannya, senang.
Jadi, saat menjelang takbiratul ihram hati senang dan sebelum takbiratul ihram hati hudhur (hati yang hadir). Hudhur untuk mendatangkan isti'anah (pertolongan Allah), hudhur sebelum sowan menghadap hadhratillah (Allah Swt.). Awam harus belajar tingkatan ini dulu.
Lalu peranan "bishshabri" apa? Shalat itu perlu kesabaran. Karakter seseorang yang tampak sabar bisa diketahui benar-benar sabar atau pura-pura itu dilihat (saat) shalatnya. Shalatnya buru-buru atau tidak. Jangan tiru shalatnya (kaum) 'arifin yang cepat. Beliau-beliau shalat cepat karena takut hilangnya hudhur sehingga ghaflah (lalai) dalam salat.
Bishshabri itu menolong dalam gerakan shalat, makhraj yang dibaca, rukun-rukun dan sunnah-sunnah shalat. Membaca secara jelas. Allah mengerti apa yang kita baca. Tapi secara adab kita harus membaca secara jelas.
Bishshabri juga mendidik kita dalam thuma'ninah fishshalah dan bacaan yang baik. Kalau bishshabri washshalah sudah diraih, buahnya adalah (yang) pertama untuk kehidupan sehari-hari. Karena semua aspek hidup butuh sabar. Sabar dilatih dalam shalat. Kalau dalam shalat bisa sabar, maka begitu juga dalam kehidupan sehari-hari.
Kalau tidak punya sabar maka repot. Seperti kita punya orangtua yang sudah sakit-sakitan. Sejauh mana kesabaran kita mengurusi, merawat orangtua? Bisa sabar melayani tidak? Sebagai santri apa terimakasih pada orangtua? Apa kita memahami jerih payah orangtua mencari rizqi? Kalau kiriman orang tua telat, apa kita akan marah-marah menyalahkan orangtua bahkan menyuruh orangtua hutang? Sejauh mana sabar kita?
Buah kedua adalah bisa mengaplikasikan ayat innashshalata tanha 'anil fahsya-i wal munkar:
ۖإِنَّالصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ
"Sesungguhnya shalat mencegah dari kekejian dan kemunkaran." (QS. al-Ankabut ayat 45). Pertanyaannya adalah, kenapa shalat berpengaruh besar pada hidup kita? Karena sesuai hadits:
أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ الصَّلَاةُ
"Hal pertama yang kelak dihisab di hari kiamat adalah shalat", yang menunjukkan kompleksitas peranan shalat dalam hidup. Dan hadits tersebut masih satu rangkaian dengan wasta'inu bishshabri washshalah, sehingga melahirkan innashshalata tanha 'anil fahsya-i wal munkar. Hadits tersebut juga menunjukkan bahwa shalat adalah kunci semua ibadah, dan peningkatan ubudiyyah berangkat dari shalat.
Ibaratnya, saya beli beras satu truk. Tapi ada 1 karung yang jadi tolak ukur. Kalau 1 karung itu bagus, maka semua dianggap bagus. Walhasil, sabar dan shalat itu menghasilkan buah yang berpengaruh besar dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu a'lam. (Maulana al-Habib M. Luthfi bin Yahya).